Pengalaman Hijrah Versi Susi


"Bentar, benerin topi dulu"


Assalamu’alaykum gaess 😁
Gimana kabarnya? Semoga kalian selalu dekat yaa sama Allah, aamiin. Doa bagus lho ini wkwk. Oiyaa, tahun lalu gue pernah bilang ya mau cerita soal Yuk Ngaji? Wkwk maafkeun kalo baru bisa terealisasi 4 bulan kemudian πŸ˜‹

N a h  !
Sebelum mulai, gue mau kasih tahu dulu nih kalau nantinya tulisan ini adalah berdasarkan apa yang gue lihat dan gue alami selama belajar di Yuk Ngaji sebagai peserta ya. Bukan promote apalagi endorse wkwk. Emang siapa gue sampai diendorse segala haha.
Yash! Bismillah..

Dulu vs sekarang
Kalau gue langsung cerita ke intinya, itu akan sedikit kurang lengkap. Ibarat mau makan, enaknya kan ada hidangan pembuka ya. Jadi, biarkan gue sedikit memberi intro terlebih dulu, hehe. Ah iya, kalau ada di antara pembaca yang merupakan teman gue atau pernah berinteraksi dengan gue setidaknya akhir-akhir ini, ada satu hal yang perlu kalian tahu nih guys. Bahwa, aku yang dulu bukanlah yang sekarang. Lhaaa jadi nyanyi πŸ˜‚

Wkwk serius Sus, serius, garing banget sih. Oke, kalau kalian sekarang ngelihat gue nggak salaman dengan nonmahrom, kerudungnya sudah menutupi dada, pakai rok, dan dalam beberapa kesempatan (pernah lihat) pakai gamis, ketahuilah kalau dulu gue nggak begitu. 

Waktu di SMA adalah pertama kali gue sekolah pakai kerudung. Semasa kuliah gue pakai kerudungnya masih disampirin ke kanan kiri dan pakai celana jeans. Gue nyaman kok dengan penampilan yang seperti ini. Nggak ada yang salah, kan seenggaknya gue udah pakai kerudung dan itu udah menutup aurat. So, what?

Di akhir semester 4, mama gue mulai kasih “kode”. “Sus, mama kok agak risih ya kalau lihat perempuan pakai celana. Apalagi kalau celananya ketat. Lekuk tubuhnya jadi kelihatan” gitu kata beliau. Paham sih, maksudnya biar gue pakai rok dan tinggalkan celana, tapi waktu itu gue masih berdalih dengan “Ribet kalau pakai celana, kan aku harus kejar-kejar bikun (bis kuning), ma. Nanti nggak bisa lari”.

Mama ternyata nggak menyerah juga. Beberapa kali dikode akhirnya gue mikir, “iya juga sih. Benar kata mama”. Tapiiii gue belum mau, belum pede. Separuh diri gue menolak, separuh menerima. “Gimana nanti kata teman-teman? Pasti akan dicengin nih. Susi pakai rok? Ya ampun..” gitu dalam batin gue. Oke deh, pakai roknya nanti dulu, sekarang  langkah pertama kita julurkan kerudung, biar nggak ‘kelihatan’. Risih juga soalnya.

Usut punya usut, setelah diselidiki dan bertanya pada diri akhirnya gue menemukan sebuah fakta. Ternyataa yang sudah membisikkan sesuatu “was-was” ke dalam hati gue adalah sang musuh sejati, siapa lagi kalau bukan syaithon! Tepat deh, keraguan gue selama ini pasti karena dia. Kalian jangan dengarin was-was syaithon yaa~

Setelah melewati libur panjang dengan segenap kegalauan yang melanda, bismillah mulai semester depan gue mau pakai rok. Nggak peduli apa kata teman-teman gue nanti, biar aja. Gue mau nurut apa kata mama, mau jadi anak yang berbakti pokoknya, titik. Lha, eh benar aja. Baru juga pertama kali ketemu teman di stasiun dari jauh dia udah ngelihatin gue dari atas sampai bawah abis itu senyam-senyum yang you know lah yaa artinya, gitu. Sebelum dia berkata, dia pegang jidat gue dulu, terus bilang gini “Su, lu sakit? Abis kesambet apaan tiba2 pakai rok gini? Hahaha. Pakai rok bawahnya sepatu lagi. “Yee, nggak apa lagi. Emang kenapa kalau pakai rok?” jawab gue.

Ternyata, nggak cukup sampai di situ, guys. Pas masuk kelas teman-teman gue yang lain juga pada heboh. Terus gue ditanya-tanya udah kayak introgasi aja. Yaa, paham sih. Sehari-seharinya kan mereka ngelihat gue agak tomboy gitu, tiba-tiba sekarang gue (agak) feminim, uhuk. Yaudah, gue jelasin aja pelan-pelan mereka. jujur, awalnya kikuk sih, ragu, takut sama komentar-komentar. But, so far it works well, itu mah Cuma bisa-bisaan syaiton aja, nggak perlu didengarin. Yap, gue nyaman dengan penampilan gue yang sekarang. Alhamdulillah 😊

Ada yang salah
Masalah penampilan alhamdulillah udah selesai. Nggak ada lagi celana jeans, in syaa Allah. Tinggal hati aja nih yang punya masalah. Pernah tuh, suatu ketika gue scroll time line LINE terus nggak segaja gue nemu sebuah video yang sampulnya “Kuat berapa lama nonton video ini?”, karena penasaran akhirnya gue buka. Walhasil, secara nggak sadar air mata netes membasahi pipi (cieilah). Kalian tahu nggak? Itu video tentang voice recording seorang ustadz --dengan suaranya yang bikin adem-- yang menjelaskan kalo di yaumil akhir nanti nggak ada seorang pun yang peduli dengan kita, nggak ibu, nggak ayah, nggak suami, nggak istri, nggak anak, nggak sahabat, kecuali 1 orang saja, yakni Rasulullah Muhammad Shalallahu ‘alayhi wassalam, yang bahkan sampai akhir hayatnya beliau Cuma mikirin “umatku, umatku, umatku”. Maa syaa Allah, Rasul πŸ˜­πŸ’™

Ya.. sebab hal di atas, akhirnya gue mikir “Masa sih gue nggak kenal dengan orang yang paling mencintai gue bahkan dibanding orang tua gue di akhirat nanti?”, “Masa sih, pengetahuan gue soal beliau Cuma sebatas apa yang ada di buku pelajaran agama pas sekolah doang?”. Mulai dari sini gue mencari video tentang kajian Islam di Youtube. Videonya yang ringan-ringan gitu deh, nggak suka mikir yang berat soalnya haha, kayak tentang sabar, ikhlas, kisah Nabi Musa AS, Siroh Nabi Muhammad Shalallahu ‘alayhi wassalam. Yaa masih gitu-gitu aja, yang penting ada kebaikan Islam yang masuk dalam diri.

Etapi nyatanya, itu nggak cukup. Masalah hati gue belum beres. Rasa-rasanya hati gue.. sakit (?) Sholat udah, puasa udah, zakat juga udah, terus apa? Kok bisa-bisanya gue punya sentimen negatif sama orang-orang yang ikut Aksi 212? “Mereka itu kenapa sih? Namanya juga manusia, pasti kan punya salah. Memangnya nggak cukup dengan minta maaf? Yang biasa-biasa ajalah. Ngapain kumpul-kumpul di monas segala?”, itu pikiran gue pas melihat ramai pemberitaan di stasiun tv.

Gue inget banget, peristiwa itu pas banget gue lagi kuliah. Teman-teman di dalam kelas langsung streaming Youtube terus kita nonton bareng. Seaneh itu ngelihat tayangan aksi. Bahkan, salah satu teman nasrani gue sampai dihubungi sama orang tuanya untung pulang ke rumah dengan hati-hati dan kalung salib yang dia pakai lebih baik disembunyikan aja. Ada yang bilang aksi ini dipolitisasilah, dibayarlah, apalah, framming media apik banget. Tapi gue nggak begitu notis sih.  

Selama perjalanan pulang ke rumah, di dalam kereta dan di Stasiun Manggarai gue lihat banyak orang dengan pakaian putih-putih, ada yang pakai topi dan bawa bendera hitam putih dengan tulisan syahadat – yang belakangan gue tahu kalau itu topi tauhid dan bendera tauhid (al-Liwa dan ar-Royah) – gue masih sibuk membatin “Ya ampun, biasa aja kali. Kayak gue gini lho. Muslim yang biasa-biasa aja. Kita kan harus toleransi”, “tapi emang parah juga sih masa al-Qur’an dibilang membohongi”. Ah, pokoknya setelah melihat kejadian itu ada konflik di dalam hati gue. Sebagian pro dan lainnya kontra.

Dan, pemikiran gue nggak berubah sampai gue ikut Aksi Bela Palestina. Lokasinya sama, di Monas, dress codenya sama, putih-putih. Dan yang gue rasa.. speechless banget sih, ada perasaan yang susah didefinisikan, soalnya campur aduk, yang ada air mata malah netes. Kalau membela manusia aja kita bisa sampai begini, gimana membela al-Qur’an yang merupakan perkataan langsung dari Allah subhanahu wa ta’ala?

Astaghfirullah Sus, bisa-bisanya selama ini su’udzon dengan mereka yang ikut Aksi 212. Bukan berlebihan jika mereka  berkumpul di sana, karena yang mereka bela adalah firman Allah. Bukan mereka yang berlebih-lebihan, tapi karena gue yang masih cinta dunia. Masih buta hatinya. Padahal, tersebab cintalah, yang membuat Allah menyatukan mereka. sedangkan gue? Gue sedih, gue kecewa. Dah, pokoknya mah kalo ingat kejadian itu, kalo ingat gue pernah su’udzon rasanya nyesel. Nyesel banget, semoga kejadian serupa nggak terulang lagi. Alhamdulillah Allah masih ngasih hidayah buat gue, baik bangeeeet Allah yak😭

F i x  !
Ini semua bisa terjadi karena keterbatasan ilmu yang gue punya, makanya gue bisa terpengaruh media mainstream dan percaya framming negatif bahkan dengan saudara gue sendiri. Kalau cuma mengandalkan kajian online pertanyaan-pertanyaan gue nggak akan terjawab juga nggak ada teman buat diskusi. Gue harus ikut kajian secara langsung. Tapi gimana cara nyarinya? Mau ikut Shift nya Ustadz Hanan Attaki (yang akhirnya gue tahu voice recording itu suara beliau) jauh banget di Bandung. Masa di Jakarta nggak ada sih?

Gue dan Yuk Ngaji
Yuk, Ngaji!
Ngaji, Yuk!

Apa sih wkwk, garing. Oke-oke mari kita lanjutkan. Ada banyak hal yang gue pelajari dan dapatkan dari Yuk Ngaji. Tapi tunggu, this next journey will take a long time. Jadi, kalau menurut gue baiknya disambung ke postingan selanjutnya aja ya πŸ˜† in syaa Allah. Hehe, nanti kalo udah diposting gue kasih tau yaa, guys! (Post terbaru soal YukNgaji ada di sini)

Wassalamu’alaykum 😁

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cara ke Hutan Mangrove naik kereta dan busway

PENGALAMAN DAN TIPS LOLOS SIMAK UI

Pengalaman Magang di Perpustakaan